SAJAK PALSU
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hokum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan dan seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu
SYAIR SENJA HARI
Menatap senja sambil menghirup teh pelan-pelan
matahari beringsut meninggalkan jejak-jejak jingga
dan warna keemasan di gelas tehku. Burung pun
beterbangan seperti kawan-kawan menghilang
tanpa selembar bulu pun tertinggal. Begitu rapi
jarum jam mengemas semua kenangan tersisa. Aku masih setia
di sini mencatati angin. Pada cuaca, daun-daun
yang luruh menuju malam menyisakan warna ungu
cakrawala yang alpa didaki bintang. Kuistirahatkan
darah dari geladak jalanan tanah air dukaku. Kukenang
nyanyian-nyanyian lama dengan asmara dan rindu-dendam
bersama harapan yang terlalu basah untuk membujuk
fajar yang samar bagai akan tiba, begitu lama
bagai akan datang. Seperti biasa, kitapun melupakannya
hingga tiba-tiba berdiri terpaku pada siang. Di teriknya
Kita jemur segala air mata. Sambil menghirup teh
diam-diam dan mengunyah sisa mimpi dan cemas yang beringsut
bersama matahari, malampun tiba tanpa suara
sementara bintang-bintang bergerak ke angkasa
menggoreskan warna-warna berpendaran tempat jarum jam
melukis jejak senyuman. Terasa ada yang terbakar
bersama rokokku. Tak sempat kuterka warna asap
yang mengabut ke dingin sajak-sajakku.
1992
Minggu, 10 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar